“SMK memang sekolah yang mengedepankan keahlian sehingga ketika siswa telah berhasil menempuh proses belajar di sekolah, siswa diharapkan melanjutkan karirnya ke dunia industri.
Namun bukan berarti semua lulusan siswa SMK berpikiran untuk masuk ke dunia industri setelah lulus. Disini masih ada kami, siswa SMK yang ingin melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.
Bayangkan saja, apakah semua lulusan SMK mau menjadi bawahan selamanya tanpa ada peningkatan jenjang karir di perusahaan? Siswa yang langsung terjun ke dunia industri “biasanya” akan malas untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hanya sebagian kecil yang tergerak hatinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ada peribahasa mengatakan, “belajar di waktu muda bagaikan mengukir diatas batu sedangkan belajar diwaktu tua bagai mengukir diatas air”.
Disini masih ada kami siswa SMK, yang merasa masa muda adalah waktu yang tepat untuk belajar, berkreasi dan berinteraksi dengan baik. Karena itu pula, kami ingin mengenyam pendidikan perguruan tinggi.”
Kutipan dari : Alfath Bagus, Siswa STMN Pembangunan Jakarta (saudara se-STMN Pembangunan, long live Pembangunan, SMK 4 Tahun!) http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/20/bagaimana-peluang-siswa-smk-di-snmptn-2013-535390.html
Akan tetapi rasanya tahun demi tahun SMK semakin didiskriminasikan
Sekarang saja saya lihat beberapa persyaratan di sebuah PT (Perguruan Tinggi) sangat mendiskriminasikan anak SMK, rata-rata SMA IPA/IPS yang bisa masuk PT tsb (saya lihat anak SMK hanya bisa masuk di jurusan Ilmu Filsafat, mau jadi apa?).
Ditambah dengan persyaratan nilai UN (saya yang SMK 4 tahun dari SMKN 1 Cimahi/STMN Pembangunan Bandung, ijazah belum keluar otomatis nilai UN pula, lulus saja belum) dan PTN yang menentukan prodi sesuai dengan jurusan kita di SMK (seseorang bisa saja berubah pikiran, memiliki bakat dan minat yang berbeda-beda, kenapa harus ditentukan seperti itu? kesannya tidak fleksibel, bagaimana kita mau meng-ikuti passion kita di suatu bidang tsb apabila dipaksa?).
Lantas apabila peraturan itu terjadi, kenapa tidak dgn SMA juga?
Harusnya yang IPA ya ke IPA saja, IPS ke IPS saja.
Pa, Bu mana jargon “SMK Bisa!”-nya yang katanya diunggulkan dan didukung, tapi malah disampingkan.
Di media massa yang beredar akhir-akhir ini, disuguhkan dengan berita siswa SMK dengan segala karya dan prestasinya. Bukan hanya di bidang kejuruan! banyak juga di bidang lainnya seperti olahraga, debat, bisnis dan kewirausahaan, dll.
Itu adalah sebentuk teriakan semangat siswa SMK yang ingin merubah Indonesia menjadi bangsa yang mandiri. Saya rasa pernyataan ini sudah cukup meyakinkan potensi anak-anak SMK.
Lalu ada yang berkata “Ya salah sendiri kenapa ga masuk SMA, kalau mau ngelanjutin ke PT?”
“Ya, justru itu kita lebih memilih SMK, karena kita tidak mau hanya ingin belajar secara teoritis tapi secara pengaplikasiannya juga, sehingga ketika di PT sudah ada bekal pula ketika kita melakukan riset.”
Karena pada akhirnya seseorang pasti dituntut memiliki “skill” yang kompeten.
A: “Lah SMK kan difokuskan untuk kerja?”
B: “Ya betul, akan tetapi maukah anda terus menerus menjadi pekerja? sedangkan di SMK sendiri diajarkan kewirausahaan belajar untuk menciptkan lapangan pekerjaan yang baru, apakah cukup pendidikan sampai SMK saja, agar cita-cita lapangan pekerjaan baru tercipta oleh kami?
A: “Ah, ada aja tuh yang ga lulus sekolah bisa menciptakan lapang pekerjaan mereka sukses”B : “Orang yang ga tamat sekolah aja bisa sukses kan? Nah apalagi yang pendidikannya tinggi, pasti harus lebih sukses”
Jadi apa sebetulnya yang menjadi alasan pemerintah terhadap siswa/i SMK yang hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi didiskriminasikan?
“Ir. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan, ‘Bahwa satu-satunya yang dapat mengubah nasib suatu bangsa hanyalah Pendidikan.’
Jadi, tuntutlah ilmu setinggi-tingginya.”
Tanggapan untuk Diskriminasi Terhadap Siswa SMK di Perguruan Tinggi.
Salut, acung jempol pada anda yang menulis, semoga yang berwenang juga memperhatikan itu.
Setengah tahun saya masuk dilingkungan SMK 4 Tahun, bisa merasakan itu, saya merasa bangga banyak siswa SMK yang 3 tahun juga masuk ke PT dan saya sendiri juga dulu dari SMK/STM. Saya setuju itu karena kehidupan itu sesuatu yang dinamis, maka tidak salahnya kita bermimpi yang lebih tinggi. Tentunya jangan ada pengkerdilan, nyatanya sekarang SMK 4 Tahun apa lebih berpotensi kalau faktanya saat ini SMK 3 Tahun yang sudah lulus bisa Kuliah dan seandainya kerja dibanding dengan SMK 4 Tahun sudah curi start 1 Tahun. Tentunya pengalaman dan haknya sudah diakui sebagai Karyawan, lain halnya dengan siswa SMK 4 Tahun pada tahun ke 4 masih magang, apakah pada saat itu haknya sebagai karyawan, kalau nyatanya kewajibanya harus bekerja sebagai karyawan. Inilah yang menjadi keprihatinan saya. Mengingat ritme belajar disaat tahun pertama s.d tahun ke 3, ada eskalasi untuk menempuh ujian bisa mencapai nilai yang tinggi guru ada didalamnya untuk memotivasi dll. saat tahun ke 4 dilepas ke industri apa yang terjadi hubungan antara guru dan siswa terkesan lepas dan terkesan ada pembiaran. Setelah lulus apakah bisa langsung bekerja di industry tersebut kenyataannya belum tentu. Saat uji kompetensi jika SMK 3 tahun ditempuh saat siswa kelas 3 namun SMK 4 tahun ditempuh saat tingkat 4, tentunya keadaan sudah berbeda sehingga saat mengerjakan lupa mengoperasikan mesin (kasus pada jurusan Mesin).
Seseorang dibuai dengan fenomena bahwa SMK 4 Tahun katanya lebih unggul, namun fakta sekarang berbeda. Kebijakan Mendikbud juga sebenarnya sudah mengarah kepada peningkatan pendidikan yang notabene membuka selebar-lebarnya pada lulusan SMA maupun SMK untuk bisa meneruskan kejenjang lebih tinggi hal ini juga sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraaan. Ini pandangan pribadi, semoga menjadi masukan untuk dikaji ulang. Apakah SMK 4 tahun dipertahankan dengan mempertimbangkan haknya juga ditingkatkan, apakah disamakan saja dengan SMK 3 tahun.
terimakasih Mas 🙂
tentu memang perlu diadakan kebijakan-kebijakan masalah perbandingan SMK 3 tahun dan SMK 4 tahun.